Home AI Disrupsi Pendidikan Re-imajinasi Pendidikan di Era AI: Menyambut Tantangan, Merawat Kemanusiaan

Re-imajinasi Pendidikan di Era AI: Menyambut Tantangan, Merawat Kemanusiaan

*) Gambar sebagai ilustrasi

Halo dan selamat datang kembali di Podcast INOSI, ruang dialog yang mempertemukan ide, nilai, dan visi masa depan pendidikan. Saya senang sekali Anda bergabung di episode ini—karena hari ini kita akan menyentuh inti terdalam dari seluruh transformasi yang sedang kita saksikan bersama: Apa sebenarnya tujuan pendidikan di era ketika mesin bisa memberi semua jawaban?

Sebelum kita masuk ke narasi utama, jangan lupa untuk klik tombol subscribe, nyalakan notifikasi agar Anda tidak ketinggalan episode terbaru dari kami, dan jika Anda merasa episode ini menginspirasi atau memantik refleksi, silakan like dan bagikan kepada teman, kolega, atau siapa saja yang sedang berpikir ulang tentang pendidikan.


Kini, mari kita mulai.

Bayangkan Anda berada di sebuah kelas. Di ruangan itu, seorang guru tengah berdiri di depan layar. Di layar tersebut, terbuka jendela aplikasi ChatGPT. Seorang siswa baru saja mengetikkan pertanyaan: “Apa dampak revolusi industri terhadap ekonomi global?” Dalam hitungan detik, jawaban muncul—terstruktur, lengkap, bahkan dengan referensi yang rapi.

Sang guru lalu bertanya ke siswa itu: “Setelah membaca jawaban ini, apa yang menurutmu belum terjawab?”

Hening.

Dan dari hening itu, kita disadarkan: Pertanyaan itulah yang seharusnya menjadi pusat pendidikan hari ini.

Karena, di dunia di mana mesin dapat memberi jawaban lebih cepat, lebih akurat, dan lebih lengkap dari manusia mana pun, maka peran kita sebagai pendidik bukan lagi untuk mengisi kepala siswa dengan data, definisi, dan rumus. Tapi untuk melatih mereka agar mampu bertanya dengan lebih bijak, lebih kontekstual, dan lebih manusiawi.


Disrupsi AI, dengan semua kecanggihannya, justru menjadi panggilan untuk re-imajinasi pendidikan. Sebuah undangan untuk berhenti sejenak dan bertanya ulang: Untuk apa sebenarnya sekolah? Untuk siapa kita mengajar? Dan apa sebenarnya yang kita ukur dari proses belajar itu sendiri?

Selama ini, banyak sistem pendidikan terjebak pada orientasi produk: mencetak lulusan, menghasilkan nilai ujian, mempersiapkan tenaga kerja. Tentu semua itu tidak salah. Tapi ketika orientasi produk ini menjadi satu-satunya tujuan, kita kehilangan dimensi yang lebih dalam dari pendidikan: yaitu menemani proses menjadi manusia yang berpikir, yang peduli, yang bisa berdialog, dan bisa memaknai dunia.


Dan di sinilah pertanyaan fundamental muncul kembali: Apakah pendidikan hanya bertujuan menghasilkan lulusan yang bisa menjawab soal pilihan ganda?

Atau, lebih dari itu—apakah kita sedang berupaya melahirkan generasi yang mampu bertanya dengan rasa ingin tahu, berpikir lintas konteks, dan menyelesaikan masalah kompleks dengan etika dan empati?

Karena mari kita jujur: AI bisa memberi definisi revolusi industri, menjelaskan konsep globalisasi, bahkan menulis esai tentang perubahan iklim. Tapi AI tidak bisa merasa khawatir akan tanah longsor yang merenggut desa. AI tidak bisa merasakan kesedihan ketika seorang teman kehilangan rumah karena banjir. AI tidak bisa terharu ketika sebuah komunitas berhasil menyelamatkan hutan mereka dari perusakan.

AI bisa menjelaskan “apa”, tapi hanya manusia yang bisa memaknai “kenapa” dan “bagaimana” dengan nurani.


Jadi, tugas besar pendidikan saat ini adalah menjaga agar manusia tidak menjadi sekadar pemroses informasi, tapi tetap menjadi makhluk yang memiliki intuisi, nilai, dan tanggung jawab sosial.

Kita perlu pendidikan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana. Yang tidak hanya cepat, tetapi juga reflektif. Yang tidak hanya efisien, tetapi juga penuh empati.

Re-imajinasi pendidikan berarti berani melampaui sekadar digitalisasi metode lama—dan mulai merancang ulang seluruh pengalaman belajar berdasarkan nilai, relasi, dan pemaknaan.


Lalu, apa bentuk konkret dari re-imajinasi itu?

Bayangkan sekolah bukan lagi sekadar ruang untuk menyelesaikan kurikulum, tapi menjadi ekosistem untuk mengasah kesadaran. Kurikulum dirancang agar siswa terpapar berbagai perspektif, diberi ruang untuk bertanya, dan diberdayakan untuk menyelami isu-isu nyata yang relevan dengan hidup mereka.

Guru tidak sekadar menyampaikan, tapi memfasilitasi pencarian. Menjadi arsitek pengalaman belajar, bukan hanya penjaga rutinitas kelas. Menjadi pemantik rasa ingin tahu, bukan hanya pengoreksi tugas.

Penilaian pun tidak lagi berbasis hafalan atau pilihan ganda, melainkan dirancang untuk menilai proses berpikir, kedalaman refleksi, dan keberanian mengambil posisi dalam dilema etis atau tantangan sosial.


Dan semua ini tidak berarti kita menolak teknologi. Justru sebaliknya: kita menggunakan teknologi sebagai pengungkit pemanusiaan.

Kita jadikan AI sebagai alat bantu untuk memperluas wawasan, mempercepat eksplorasi, dan menyediakan umpan balik instan. Tapi kendali tetap berada di tangan manusia. Karena hanya manusia yang bisa menilai mana informasi yang tepat dalam konteks tertentu, mana gagasan yang layak dikembangkan lebih jauh, dan mana pertanyaan yang perlu diangkat kembali.

Dengan kata lain, teknologi adalah kendaraan; tujuan akhirnya tetap pembentukan manusia.


Saya percaya, jika desain pendidikan kita berpijak pada pertanyaan yang tepat, maka teknologi akan memperkuat, bukan menggantikan peran manusia.

Tapi semua ini hanya mungkin jika kita punya keberanian kolektif untuk meninjau ulang seluruh paradigma kita: dari cara kita mendefinisikan belajar, hingga cara kita merancang masa depan pendidikan di tingkat sistemik.

Dan untuk itu, kerangka kerja seperti EXPLORE Framework hadir sebagai panduan yang sangat relevan. Framework ini tidak hanya mengajak siswa untuk menyerap pengetahuan, tetapi untuk menjelajahi ide, mempraktikkan keterampilan, belajar secara mendalam, menyusun pemahaman, merefleksikan proses, dan memperkaya wawasan.

Ini bukan lagi pendidikan yang linier, tapi pendidikan yang hidup—bernapas bersama dunia nyata.


Sahabat INOSI, disrupsi AI adalah momen krisis. Tapi seperti semua krisis besar dalam sejarah, ia juga membawa kesempatan luar biasa—jika kita cukup berani untuk meresponsnya dengan jujur dan kreatif.

Kita punya dua pilihan: terus melanjutkan sistem yang usang dan membiarkan teknologi mengambil alih secara mekanis; atau, kita gunakan momen ini untuk mendesain ulang pendidikan agar lebih manusiawi, lebih relevan, dan lebih mendalam.

Saya pribadi memilih yang kedua. Dan saya percaya, banyak di antara Anda juga merasakan hal yang sama.


Karena pada akhirnya, pendidikan bukan tentang mengajarkan anak-anak menjadi mesin. Tetapi mendampingi mereka menjadi manusia yang utuh: berpikir, merasa, bertanya, memilih, dan bertindak dengan hati nurani.

Di dunia yang jawabannya bisa dicari dalam hitungan detik, maka pertanyaannya harus makin bijak. Dan di sinilah esensi dari pendidikan masa depan:

“Di era ketika mesin bisa memberikan jawaban, tugas pendidikan adalah melatih manusia bertanya dengan lebih bijak.”


Terima kasih telah menyimak episode ini. Jika Anda ingin mendalami lebih jauh tentang bagaimana mentransformasi pendidikan di era AI, menjadikan teknologi sebagai alat bantu yang memperkuat kemanusiaan, atau merancang kurikulum yang reflektif dan adaptif, kami di INOSI siap mendampingi.

Dan tentu saja, jika episode ini memberi Anda ruang pikir yang berarti, klik tombol like, subscribe channel ini, dan bagikan kepada siapa pun yang peduli terhadap pendidikan yang lebih baik.

Sampai jumpa di episode berikutnya.

Tetap bertanya. Tetap belajar. Tetap menjadi manusia.

Jika Anda ingin versi ini dalam format artikel, presentasi, atau bahan diskusi komunitas, saya siap bantu menyesuaikannya.


Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan konten, pelatihan, pendampingan AI DISRUPSI PENDIDIKAN, dan juga kerjasama, silahkan kontak kami di haitan.rachman@inosi.co.id 

Load More Related Articles
Load More By Moh. Haitan Rachman
Load More In AI Disrupsi Pendidikan
Comments are closed.

Check Also

Menuju Pendidikan yang Humanistik dan Adaptif

*) Gambar sebagai ilustrasi Halo dan selamat datang kembali di Podcast INOSI, ruang berpik…