
Penggunaan CANVAS Framework untuk Mengembangkan Teaching Factory (TeFa) SMK
Oleh Mohamad Haitan Rachman – INOSI
Di tengah transformasi dunia industri yang sangat cepat, pendidikan kejuruan tidak lagi bisa berjalan sendiri dengan pendekatan konvensional. SMK sebagai garda depan penyedia tenaga siap kerja harus terus beradaptasi—bukan hanya mengajar keterampilan teknis, tapi juga menumbuhkan mindset kewirausahaan, kreativitas, serta kemampuan berinovasi.
Nah, di sinilah konsep Teaching Factory atau TeFa menjadi sangat relevan. TeFa merupakan integrasi antara proses pembelajaran dengan praktik produksi nyata, yang menyerupai dunia industri sesungguhnya. Dalam konsep ini, siswa tidak sekadar belajar untuk bekerja—mereka belajar sambil menciptakan, memproduksi, memasarkan, dan mengelola sebuah proses bisnis. Jadi bukan hanya hard skill yang terasah, tetapi juga karakter dan cara berpikir mereka.
Tapi pertanyaannya: Bagaimana mengembangkan Teaching Factory agar tidak sekadar menjadi ruang praktik biasa? Bagaimana menjadikan TeFa sebagai ekosistem kewirausahaan yang hidup, reflektif, dan adaptif?
Di sinilah CANVAS Framework hadir sebagai solusi. CANVAS adalah singkatan dari:
- Clarify (Menjernihkan Visi)
- Act (Bertindak dengan Tujuan)
- Nurture (Menumbuhkan Potensi)
- Value (Menghargai Progres)
- Adapt (Beradaptasi dengan Bijak)
- Succeed (Mencapai Kesuksesan yang Seimbang)
Framework ini bukan teori kosong. Ia adalah panduan praktis dan reflektif yang bisa digunakan oleh guru, siswa, manajemen sekolah, dan mitra industri untuk mengembangkan Teaching Factory yang tidak hanya produktif, tetapi juga transformatif.
Mari kita bahas satu per satu…
Tahap pertama adalah Clarify – Menjernihkan Visi.
Banyak TeFa gagal berkembang karena tidak punya arah yang jelas. Maka, langkah pertama adalah menyusun visi TeFa secara partisipatif. Apa yang ingin dicapai dalam 3-5 tahun ke depan? Apakah ingin mencetak siswa sebagai teknisi unggul, wirausahawan, atau inovator lokal?
Clarify bukan hanya soal slogan di dinding sekolah. Ia butuh refleksi mendalam—melibatkan guru, siswa, kepala sekolah, dan mitra industri untuk menyelaraskan arah. Misalnya, SMK dengan jurusan multimedia bisa memutuskan bahwa visi mereka adalah menjadi inkubator aplikasi edukatif berbasis lokal. Dari sini, semua langkah akan jadi lebih fokus.
Tahap kedua adalah Act – Bertindak dengan Tujuan.
Setelah visi jelas, kita perlu bergerak. Tapi bukan sekadar sibuk. Aksi yang dilakukan harus sesuai arah. Inilah yang membedakan antara aktivitas dan produktivitas.
Dalam konteks TeFa, ini bisa berarti mendesain ulang kurikulum agar lebih kolaboratif dan berbasis proyek nyata. Misalnya, siswa membuat produk digital dari awal sampai pemasaran, bukan hanya menyelesaikan tugas teknis. Guru bertindak sebagai mentor, bukan sekadar pengajar. Manajemen sekolah memfasilitasi kemitraan dengan dunia usaha. Semua bergerak bersama dalam kerangka tujuan yang disepakati.
Tahap ketiga adalah Nurture – Menumbuhkan Potensi.
TeFa yang baik bukan hanya mengejar hasil produksi, tapi juga memastikan setiap siswa berkembang sebagai manusia. Di sinilah kita tanamkan growth mindset—bahwa kemampuan itu bisa ditumbuhkan lewat latihan, refleksi, dan bimbingan.
Guru-guru perlu diberikan pelatihan sebagai coach dan fasilitator, bukan sekadar pengajar satu arah. Siswa perlu ruang untuk mencoba, gagal, dan belajar ulang. Budaya belajar dari kesalahan harus menjadi bagian dari TeFa. Kita juga perlu program mentorship dari alumni atau praktisi industri, agar siswa mendapat inspirasi dan peta jalan nyata dari lapangan.
Tahap keempat adalah Value – Menghargai Progres.
Salah satu kesalahan besar dalam pendidikan adalah terlalu fokus pada hasil akhir dan lupa menghargai proses. CANVAS mengajarkan kita untuk merayakan langkah kecil, karena di situlah motivasi bertumbuh.
TeFa bisa mengadakan refleksi mingguan bersama siswa: Apa yang kamu pelajari minggu ini? Apa tantangan terbesar? Apa pencapaian kecil yang membuatmu bangga?
Dengan begitu, siswa merasa dihargai sebagai manusia yang sedang belajar, bukan robot yang harus sempurna. Guru pun jadi lebih sensitif terhadap dinamika kelas dan bisa memberi intervensi yang tepat.
Tahap kelima adalah Adapt – Beradaptasi dengan Bijak.
Dunia terus berubah. Industri berubah. Teknologi berubah. Maka TeFa juga harus bisa menyesuaikan diri.
Adaptasi di sini bukan hanya reaktif, tapi proaktif. Sekolah bisa membentuk tim inovasi TeFa yang secara berkala menganalisis tren industri dan mengevaluasi program. Ketika ada perubahan permintaan pasar, maka kurikulum dan proyek siswa pun bisa disesuaikan.
Misalnya, jika permintaan pasar terhadap konten video pendek meningkat, maka proyek siswa bisa diarahkan untuk membuat media edukatif berbasis video TikTok. Ini bukan sekadar gaya, tapi cara sekolah tetap relevan dan kontekstual.
Dan tahap terakhir adalah Succeed – Mencapai Kesuksesan yang Seimbang.
CANVAS tidak mendefinisikan sukses hanya sebagai keuntungan finansial. Ia melihat sukses secara holistik: apakah siswa menjadi pribadi yang percaya diri? Apakah guru tumbuh sebagai pemimpin pembelajaran? Apakah sekolah menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar dan berinovasi?
Kesuksesan ini harus dibangun secara sadar—dengan indikator yang bukan hanya angka, tetapi juga nilai. Misalnya: meningkatnya keterlibatan siswa, jumlah ide bisnis baru yang muncul, jumlah siswa yang lanjut berwirausaha setelah lulus.
Sahabat edukatif, dari enam langkah tadi, kita bisa melihat bahwa CANVAS bukan sekadar kerangka berpikir. Ia adalah kerangka bertindak dan bertumbuh. Ia memberi struktur, tapi juga ruang untuk refleksi dan improvisasi.
Dengan menggunakan CANVAS, sekolah tidak lagi bekerja berdasarkan rutinitas atau tekanan administratif, tapi berdasarkan arah yang jelas dan kesadaran yang mendalam. TeFa pun bukan hanya menjadi “pabrik kecil” di sekolah, tetapi ekosistem pembelajaran hidup yang menumbuhkan semangat, kreativitas, dan masa depan.
Nah, bagaimana menurut Anda? Apakah sekolah Anda sudah memiliki arah yang jelas dalam mengembangkan Teaching Factory? Apakah proses yang berjalan saat ini sudah selaras dengan nilai-nilai dan kebutuhan siswa?
Jika belum, mungkin inilah saat yang tepat untuk mengadopsi CANVAS Framework sebagai kompas transformasi.
Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan tulisan, pelatihan, pendampingan dan layanan kami, serta berkeinginan kerjasama, silahkan kontak kami, haitan.rachman@inosi.co.id