Home AI Disrupsi Pendidikan Menuju Pendidikan yang Humanistik dan Adaptif

Menuju Pendidikan yang Humanistik dan Adaptif

*) Gambar sebagai ilustrasi

Halo dan selamat datang kembali di Podcast INOSI, ruang berpikir kritis dan reflektif bagi siapa pun yang mencintai pendidikan, perubahan, dan kemanusiaan. Saya senang sekali Anda bergabung hari ini, karena episode ini membawa kita ke sebuah percakapan yang sangat penting—bukan hanya untuk para guru atau pembuat kebijakan, tapi untuk kita semua sebagai manusia yang sedang mencari cara untuk tetap relevan, tetap utuh, dan tetap tumbuh di tengah derasnya gelombang teknologi.

Tapi sebelum kita menyelam lebih jauh, izinkan saya mengingatkan Anda: jika Anda merasa podcast ini memberi makna atau membuka ruang renung baru, jangan lupa untuk klik tombol subscribe, nyalakan notifikasi, dan bagikan ke rekan-rekan yang juga sedang berjuang memaknai pendidikan di era digital.


Hari ini kita akan membahas satu kalimat sederhana, tapi mengandung kebenaran yang mendalam:

Kita tidak bisa melawan gelombang teknologi, tapi kita bisa mengemudikannya.

Itulah realitas yang tidak bisa kita sangkal. Teknologi—termasuk kecerdasan buatan—sudah, sedang, dan akan terus menjadi bagian dari hidup kita. Ia tidak hanya masuk ke ruang-ruang kelas, tapi juga ke ruang berpikir kita, ke cara kita mencari informasi, menyusun argumen, dan bahkan membangun identitas.

Pertanyaannya bukan lagi: “Haruskah kita menggunakan teknologi?” Tapi lebih mendasar: “Bagaimana kita mendesain ulang pendidikan agar tetap manusiawi di tengah teknologi yang kian mendominasi?”

Karena jika tidak, kita akan terjebak dalam keusangan sistemik—yakni terus mengajarkan dengan cara lama dalam dunia yang telah berubah secara radikal.


Mari kita mulai dari akar persoalan.

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan dibangun di atas logika yang stabil, linear, dan normatif. Kita punya kurikulum nasional, buku teks yang diatur, soal ujian dengan kunci jawaban tunggal, dan guru yang dilatih untuk “mengajar sesuai rencana”. Tapi dunia hari ini—dan terutama besok—tidak bekerja seperti itu lagi.

Kita hidup dalam dunia yang cair, tidak pasti, kompleks, dan ambigu. Dunia yang setiap informasinya bisa berubah dalam hitungan jam. Dunia yang menuntut kemampuan beradaptasi, refleksi, kolaborasi, dan keberanian mengambil keputusan etis di tengah data yang melimpah.

Lalu bagaimana mungkin kita terus mengukur keberhasilan belajar hanya lewat hafalan? Bagaimana mungkin kita terus menjadikan ujian akhir sebagai puncak dari seluruh proses pendidikan? Dan bagaimana mungkin kita berharap siswa bertumbuh sebagai pemikir mandiri jika setiap langkahnya diarahkan secara seragam dan mekanis?


Di sinilah kita butuh keberanian untuk merancang ulang.

Merancang ulang kurikulum. Merancang ulang asesmen. Merancang ulang pengalaman belajar secara keseluruhan.

Bukan dalam arti mengganti semuanya sekaligus, tapi dalam semangat menyuntikkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, keingintahuan, dan kebermaknaan dalam setiap aspek pendidikan.

Rancangan ulang ini harus dimulai dari satu kesadaran penting: bahwa belajar bukan hanya tentang mengetahui, tapi tentang menjadi. Menjadi manusia yang sadar, yang utuh, yang mampu berpikir, merasakan, dan berkontribusi secara bermakna bagi dunianya.


Dan untuk itu, kita perlu pendidikan yang humanistik dan adaptif.

Humanistik artinya memanusiakan. Mengakui bahwa setiap siswa adalah pribadi yang unik, dengan cara belajar yang berbeda, dengan latar belakang emosi, sosial, dan kultural yang tak bisa dipukul rata.

Adaptif artinya lentur terhadap perubahan. Mampu merespons dunia yang terus bergerak, tanpa kehilangan arah nilai.

Pendidikan yang humanistik dan adaptif bukan berarti tanpa struktur. Tapi strukturnya bersifat fleksibel—seperti kerangka yang memberi ruang bagi kreativitas, pemaknaan, dan pertumbuhan.


Apa saja yang harus kita lakukan untuk menciptakan pendidikan semacam ini?

Pertama, kita perlu mengaktifkan kembali siklus belajar berkelanjutan.

Belajar tidak boleh berhenti di ujian akhir. Ia harus menjadi kebiasaan hidup. Siswa tidak belajar untuk lulus, tapi belajar untuk terus bertumbuh. Guru tidak mengajar untuk menyelesaikan materi, tapi untuk menumbuhkan keinginan belajar lebih dalam.

Pendidikan harus menciptakan budaya belajar seumur hidup—di mana pertanyaan lebih penting dari jawaban, dan pencarian lebih dihargai daripada kepastian.


Kedua, kita perlu mengutamakan keterampilan berpikir daripada hafalan.

Bukan berarti hafalan tidak penting. Tapi ia harus menjadi fondasi, bukan tujuan akhir. Pendidikan hari ini harus melatih keterampilan-keterampilan seperti berpikir kritis, analisis, sintesis, evaluasi, dan pemecahan masalah.

Kita perlu kelas yang penuh dengan eksplorasi ide, perdebatan sehat, penulisan reflektif, eksperimen terbuka, dan kolaborasi lintas bidang.

AI bisa membantu dalam banyak aspek—menyediakan data, menjelaskan konsep, menyarankan referensi—tapi ia tidak bisa melatih intuisi, empati, atau kejelian melihat makna dari kekacauan. Itu adalah tugas pendidikan.


Ketiga, kita perlu mengembalikan refleksi dan pemaknaan ke dalam proses belajar.

Apa gunanya belajar jika tidak dipikirkan kembali? Jika tidak diresapi dalam konteks pribadi? Jika tidak disesuaikan dengan nilai dan dunia nyata?

Refleksi bukan aktivitas tambahan. Ia harus menjadi bagian inti dari pembelajaran. Setiap proyek, setiap diskusi, setiap eksplorasi harus ditutup dengan momen perenungan: Apa yang saya pelajari? Apa yang saya rasakan? Bagaimana saya berubah karena ini?

Inilah esensi dari menjadi manusia pembelajar: sadar akan proses belajar itu sendiri.


Dan keempat, kita perlu terus mengaitkan pengetahuan dengan realitas hidup.

Ilmu bukan sekadar teori. Ia harus bersentuhan dengan nilai, dengan lingkungan sekitar, dengan tantangan nyata. Siswa harus diajak memikirkan bagaimana apa yang mereka pelajari terhubung dengan dunia di luar sekolah.

Apa dampak dari matematika dalam keuangan rumah tangga? Apa kaitan literasi digital dengan keamanan privasi? Apa hubungan antara ekosistem dan kebijakan pembangunan lokal?

Ketika pengetahuan dikaitkan dengan kehidupan, ia menjadi bermakna. Dan ketika bermakna, ia akan melekat lebih dalam daripada sekadar dihafal.


Kerangka kerja seperti EXPLORE Framework sangat membantu dalam mewujudkan semua ini. Dengan enam langkahnya—Explore New Ideas, Practice Skills, Learn Deeply, Organize Knowledge, Reflect Often, dan Enrich Understanding—framework ini memberi kita cara praktis dan sistematis untuk membangun pendidikan yang manusiawi dan relevan.

Ia bukan hanya bicara tentang konten, tapi tentang proses. Bukan hanya soal hasil belajar, tapi tentang siapa yang sedang belajar dan siapa yang sedang membimbing.


Sahabat INOSI, tantangan ini memang besar. Tapi justru karena besar, kita tidak boleh menyerah. Kita punya pilihan: membiarkan sistem terus berjalan seadanya, atau mengambil peran aktif untuk mengarahkan pendidikan ke arah yang lebih utuh dan adaptif.

Kita bisa mulai dari ruang kelas kita. Dari kebiasaan refleksi yang kita bangun bersama siswa. Dari cara kita bertanya. Dari cara kita menilai. Dari relasi yang kita bangun dengan rekan guru, orang tua, dan masyarakat.

Setiap tindakan kecil yang berangkat dari kesadaran akan nilai dan kemanusiaan, adalah bagian dari perubahan besar.


Karena pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar soal mempersiapkan masa depan ekonomi. Ia adalah cara kita membentuk manusia yang bisa berpikir, bisa merasa, bisa mencinta, dan bisa memberi arti dalam hidup ini.

Dan dalam dunia yang semakin digerakkan oleh mesin, tugas pendidikan adalah menjaga nyala api kemanusiaan itu tetap hidup.


Terima kasih telah menyimak Podcast INOSI hari ini. Jika Anda merasa konten ini berguna, mohon bantu kami menyebarkannya. Klik like, subscribe channel ini, dan bagikan episode ini kepada siapa pun yang tengah mencari jalan untuk menghidupkan kembali pendidikan yang utuh.

Sampai jumpa di episode selanjutnya. Terus bertanya, terus belajar, dan terus menyalakan semangat untuk pendidikan yang lebih manusiawi.

Jika Anda ingin mengembangkan skrip ini menjadi naskah video, pelatihan guru, dokumen kebijakan, atau bahan literasi publik, saya siap bantu menyesuaikan format dan konteksnya.


Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan konten, pelatihan, pendampingan AI DISRUPSI PENDIDIKAN, dan juga kerjasama, silahkan kontak kami di haitan.rachman@inosi.co.id 

Load More Related Articles
Load More By Moh. Haitan Rachman
Load More In AI Disrupsi Pendidikan
Comments are closed.

Check Also

Re-imajinasi Pendidikan di Era AI: Menyambut Tantangan, Merawat Kemanusiaan

*) Gambar sebagai ilustrasi Halo dan selamat datang kembali di Podcast INOSI, ruang dialog…