Home AI Disrupsi Pendidikan KRISIS #3: Relevansi Peran Guru di Era AI

KRISIS #3: Relevansi Peran Guru di Era AI

*) Gambar sebagai ilustrasi

Selamat datang kembali di Podcast INOSI, tempat di mana pemikiran-pemikiran reflektif dan transformasi pendidikan bertemu dalam percakapan yang jujur, mendalam, dan membangun. Saya senang sekali Anda bergabung hari ini, karena topik yang akan kita bahas bukan hanya relevan secara teknis, tetapi juga menyentuh esensi terdalam dari dunia pendidikan itu sendiri.

Seperti biasa, sebelum kita menyelam lebih jauh, jangan lupa untuk klik tombol subscribe, nyalakan notifikasi agar tidak tertinggal episode terbaru dari kami, dan tentu saja, jika episode ini bermakna untuk Anda—berikan like dan bagikan kepada para guru, fasilitator, kepala sekolah, mahasiswa pendidikan, atau siapa pun yang Anda pikir akan mendapatkan manfaat darinya.


Topik kita hari ini adalah tentang guru.

Lebih spesifik lagi, kita akan membedah satu pertanyaan yang mulai muncul di tengah-tengah kecanggihan zaman: “Jika AI bisa menjelaskan lebih cepat, lebih jelas, dan lebih sabar dari manusia, lalu apakah peran guru masih relevan?”

Sebuah pertanyaan yang tampaknya sederhana. Tapi percayalah, di baliknya tersembunyi kegelisahan eksistensial bagi ribuan—bahkan jutaan—pendidik di seluruh dunia.

Apakah kita sedang menuju era di mana mesin akan menggantikan manusia dalam mendidik?

Apakah kita masih butuh kehadiran guru ketika ChatGPT bisa menjelaskan hukum Newton dalam berbagai gaya bahasa, atau Gemini bisa membantu siswa membuat esai tentang perubahan iklim hanya dalam beberapa detik?

Apakah siswa masih memerlukan sosok guru ketika semua jawaban bisa dicari, ketika semua konsep bisa dipahami melalui visualisasi digital, simulasi interaktif, atau video-video animasi dari seluruh penjuru dunia?


Dan inilah jawabannya:

Justru di tengah kemajuan AI, peran guru bukan semakin mengecil—tapi justru semakin besar dan semakin penting.

Namun, penting di sini tidak berarti sama seperti dulu.

Yang bergeser adalah makna dan perannya.

Jika selama ini guru lebih dikenal sebagai penyampai informasi—pengisi papan tulis, pengisi slide presentasi, pengisi lembar kerja—maka kini kita perlu melihat guru dalam wujud yang lebih esensial: arsitek pengalaman belajar.

Seorang guru bukan lagi sekadar “orang yang tahu banyak”, tapi “orang yang membimbing bagaimana cara belajar dan bertumbuh”.

Bukan lagi hanya pengajar pelajaran, tapi penjaga rasa ingin tahu.

Bukan lagi hanya penguji kognisi, tapi penumbuh karakter dan keberanian intelektual.


Mari kita renungkan sebentar. Mesin bisa menjawab soal. AI bisa memberikan definisi. Platform canggih bisa menyajikan materi dengan visualisasi luar biasa. Tapi apakah mereka bisa membimbing siswa untuk bertanya dengan benar? Memicu rasa penasaran? Mengajak berdiskusi, meragukan, menggugat, lalu merefleksikan?

Bisakah AI memahami ketika seorang siswa kehilangan semangat karena masalah di rumah?

Bisakah teknologi melihat isyarat kecil di wajah siswa bahwa ia tidak memahami, walau ia diam?

Bisakah algoritma memfasilitasi percakapan tentang nilai, etika, dan keberanian untuk berkata benar di tengah tekanan?

Tentu saja tidak.

Dan di sinilah kekuatan manusia yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh mesin.


Seorang guru sejati memiliki empat kekuatan utama—yang kini menjadi semakin penting, justru karena AI makin canggih.

Pertama, guru sebagai pemantik rasa ingin tahu.

Di tengah dunia yang penuh jawaban instan, tugas guru bukan lagi memberi jawaban, tapi menumbuhkan pertanyaan. Mengajukan “mengapa” dan “bagaimana” yang menantang cara berpikir. Membangkitkan keingintahuan yang membakar, bukan sekadar memberi penjelasan. Karena ketika siswa penasaran, proses belajar terjadi dengan sendirinya. Rasa ingin tahu adalah bahan bakar utama pendidikan.

Kedua, guru sebagai fasilitator percakapan bermakna.

Guru menciptakan ruang diskusi yang aman dan merangsang. Tempat di mana siswa bisa menguji ide, berbeda pendapat, menyampaikan keraguan. Ini bukan kelas satu arah, tapi ekosistem dialog yang menghidupkan pembelajaran. Di sini, guru tidak mendikte, tapi memandu—tidak memberi titik, tapi mengajak membuat tanda tanya.

Ketiga, guru sebagai navigator proses eksplorasi.

Informasi bisa dicari. Tapi proses menyusunnya menjadi pemahaman membutuhkan arah. Guru berperan sebagai pemandu dalam belantara pengetahuan. Ia tahu kapan harus diam, kapan harus bertanya, kapan harus menantang. Ia tahu bahwa setiap siswa berjalan dalam ritme belajar yang unik, dan tugasnya adalah mengarahkan—bukan menyeragamkan.

Dan keempat, guru sebagai pembimbing refleksi dan karakter.

Inilah peran yang paling mulia dan paling tak tergantikan. Guru adalah pendamping dalam proses menjadi manusia. Ia bukan hanya mengajarkan cara berpikir, tapi juga cara memaknai. Guru menanamkan kejujuran intelektual, keberanian bertanya, kerendahan hati untuk belajar ulang, dan semangat untuk berbagi. AI bisa membentuk pengetahuan, tapi hanya manusia yang bisa membentuk watak.


Dalam konteks ini, EXPLORE Framework menawarkan pendekatan yang sangat sesuai. Framework ini dikembangkan oleh Mohamad Haitan Rachman dan telah menjadi panduan penting dalam membangun pembelajaran yang bermakna dan reflektif.

EXPLORE terdiri dari enam tahap: Explore New Ideas, Practice Skills, Learn Deeply, Organize Knowledge, Reflect Often, dan Enrich Understanding. Setiap tahapan memberi ruang bagi peran guru untuk tampil bukan sebagai pusat informasi, tetapi sebagai fasilitator pertumbuhan.

Mari bayangkan, misalnya, seorang guru menggunakan AI untuk membantu siswa mengeksplorasi ide baru tentang urbanisasi. Di tahap Explore New Ideas, AI bisa memberikan berbagai data dan perspektif. Tapi guru hadir untuk membingkai eksplorasi itu—mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dampak urbanisasi di kotamu sendiri?”, “Apakah kamu melihat ketimpangan dalam pembangunan kota?”, “Apa yang ingin kamu ubah jika kamu menjadi perencana kota?”

Kemudian di tahap Practice Skills, guru mengajak siswa membuat proyek sosial—bukan sekadar presentasi PowerPoint. Guru menjadi pelatih, pendamping, dan pemberi umpan balik.

Di tahap Reflect Often, guru hadir sebagai cermin—membantu siswa melihat kembali proses berpikir mereka. Apa yang berhasil? Apa yang tidak? Apa yang mengejutkan mereka?

Inilah pengalaman belajar yang utuh—dan peran guru di dalamnya adalah tak tergantikan.


Kita hidup dalam masa di mana jawaban bisa dicari dengan mudah, tetapi pembelajaran yang bermakna hanya bisa lahir dari hubungan manusia.

Teknologi memberi kita alat. Tapi guru memberi arah.

AI membantu kita menemukan data. Tapi guru membantu kita menemukan makna.

Algoritma bisa menyesuaikan konten. Tapi guru menyesuaikan pendekatan berdasarkan kasih sayang dan intuisi.

Mesin bisa mengoreksi kesalahan. Tapi hanya guru yang bisa mengampuni, mendampingi, dan menumbuhkan.


Maka dalam menghadapi krisis ketiga ini—krisis relevansi peran guru—jawaban kita bukan menyerah, bukan juga bertahan membabi buta. Jawabannya adalah bertransformasi.

Guru harus berani belajar ulang. Bukan untuk bersaing dengan mesin, tapi untuk mengembalikan makna ke dalam kelas. Guru perlu membekali diri dengan keterampilan memfasilitasi, merancang pengalaman, memandu refleksi, dan menciptakan ruang diskusi yang inklusif.

Dan sistem pendidikan perlu memberikan ruang. Kurikulum harus memberi fleksibilitas. Asesmen harus menghargai proses, bukan hanya produk. Kebijakan harus mempercayai guru sebagai pemimpin belajar—bukan hanya pelaksana administrasi.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal siapa yang bisa memberi jawaban paling cepat. Pendidikan adalah tentang siapa yang bisa membentuk manusia yang utuh—cerdas, bijaksana, peduli, dan berani menghadapi kompleksitas dunia.


Sahabat INOSI, mari kita akhiri episode ini dengan satu renungan penting.

Di tengah kebisingan teknologi, kecepatan informasi, dan kecanggihan mesin, masih ada satu hal yang hanya bisa dilakukan oleh manusia: membimbing manusia lain untuk tumbuh secara utuh.

Dan di sinilah peran guru menjadi sangat mulia.

Jika kita mampu menghidupkan kembali semangat itu—maka AI bukan ancaman, tapi anugerah. Ia akan membebaskan guru dari beban teknis, agar bisa fokus pada yang paling esensial: membimbing proses menjadi manusia.


Terima kasih telah bersama saya di episode kali ini. Jika Anda merasa isi percakapan ini penting, mohon bantu kami menyebarkannya. Klik like, subscribe podcast INOSI di platform Anda, dan bagikan episode ini kepada siapa pun yang peduli pada masa depan pendidikan dan masa depan guru.

Sampai jumpa di episode selanjutnya. Terus belajar, terus bertanya, dan terus menyalakan rasa ingin tahu. Karena pendidikan sejati dimulai dari guru yang hadir, mendengar, dan membimbing.

Butuh versi visual, audio, pelatihan berbasis skrip ini, atau modul pembelajaran guru? Saya siap bantu menyesuaikan.


Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan konten, pelatihan, pendampingan AI DISRUPSI PENDIDIKAN, dan juga kerjasama, silahkan kontak kami di haitan.rachman@inosi.co.id 

Load More Related Articles
Load More By Moh. Haitan Rachman
Load More In AI Disrupsi Pendidikan
Comments are closed.

Check Also

Re-imajinasi Pendidikan di Era AI: Menyambut Tantangan, Merawat Kemanusiaan

*) Gambar sebagai ilustrasi Halo dan selamat datang kembali di Podcast INOSI, ruang dialog…