
*) Gambar sebagai ilustrasi
Selamat datang kembali di Podcast INOSI—ruang dengar di mana kita membedah arah pendidikan masa depan, merenungkan praktik belajar yang bermakna, dan menavigasi transformasi pembelajaran di era teknologi. Seperti biasa, saya hadir untuk menemani Anda dalam satu lagi episode reflektif, penuh gagasan, dan semoga, membangkitkan pertanyaan baru tentang cara kita mendidik dan dididik.
Sebelum kita mulai, jangan lupa untuk klik subscribe, nyalakan notifikasi podcast ini di platform favoritmu, dan jika kamu merasa percakapan hari ini relevan atau menginspirasi, berikan like dan bagikan kepada kolega, siswa, atau komunitas belajar Anda.
Hari ini kita akan membahas topik yang mungkin terdengar biasa di permukaan, namun sebenarnya menyimpan kegelisahan besar bagi banyak pendidik di seluruh dunia: Apakah siswa masih benar-benar belajar, atau mereka hanya menyalin dari AI?
Pertanyaan ini mencuat dari fenomena yang kian lazim. Seorang siswa diberi tugas menulis esai tentang dampak globalisasi. Tapi alih-alih membaca referensi, merenung, dan menulis secara bertahap, ia cukup membuka aplikasi AI, mengetik satu pertanyaan, dan dalam beberapa detik—muncullah draf lengkap yang siap dikumpulkan. Tanpa berpikir, tanpa menyusun kalimat sendiri, tanpa memahami konteks.
Lalu apa yang sebenarnya ia pelajari?
Jika tidak ada refleksi, tidak ada dialog, tidak ada revisi, maka kita tidak sedang berbicara tentang belajar—kita sedang berbicara tentang otomatisasi hasil belajar, tanpa proses belajar itu sendiri.
Inilah krisis kedua dalam dunia pendidikan di era kecerdasan buatan: krisis otentisitas proses belajar. Bukan lagi sekadar tentang hafalan atau penguasaan konsep, tapi tentang kedalaman keterlibatan siswa dalam proses intelektual dan personal terhadap apa yang mereka pelajari.
Namun, seperti halnya semua krisis, ini bukan hanya tentang ancaman. Ini juga tentang kesempatan. Ini adalah panggilan untuk mendesain ulang pengalaman belajar secara lebih bijak, lebih reflektif, dan lebih manusiawi. Kita tidak bisa melarang teknologi. Kita tidak bisa menghentikan AI. Tapi kita bisa mengatur ulang cara belajar agar kehadiran AI justru menjadi pendorong pembelajaran yang lebih kritis, bukan sekadar shortcut untuk menyelesaikan tugas.
Bayangkan jika kita memutar arah dari pendekatan tugas tradisional menuju pendekatan reflektif-kritis. Misalnya, daripada hanya menyuruh siswa menulis esai tentang globalisasi, guru bisa memberikan dua respons dari dua sistem AI berbeda—misalnya ChatGPT dan Gemini—lalu meminta siswa membandingkan keduanya. Di sini, siswa dilatih membedah struktur argumen, menilai kekuatan logika, mengenali bias, bahkan mengungkap ketidaksesuaian dengan realitas lokal. Ini adalah latihan Compare and Critique, yang melatih analisis, bukan hanya reproduksi.
Atau bayangkan pendekatan lain: siswa tetap menggunakan AI untuk menghasilkan draf awal, tetapi kemudian diminta menulis ulang esai itu dengan konteks lokal, pengalaman personal, atau perspektif budaya mereka sendiri. Dalam proses ini, AI menjadi bahan mentah—sementara proses belajar tetap hidup melalui interpretasi dan pengolahan ulang oleh manusia. Ini adalah praktik Rewrite and Localize, yang justru membuka ruang ekspresi dan pemahaman yang lebih dalam.
Bisa juga dilakukan pendekatan Prompt Reflection—yaitu meminta siswa menjawab pertanyaan sederhana namun sangat dalam: “Apa yang saya pelajari dari dialog saya dengan AI kali ini?” Pertanyaan ini mendorong siswa merefleksikan proses, menyadari pemahaman, bahkan mengkritisi cara mereka menggunakan teknologi.
Jika kita cermati, semua pendekatan ini memiliki benang merah: mereka tidak menolak AI, tetapi mengintegrasikannya secara sadar dan reflektif ke dalam proses belajar. Inilah esensi dari pendidikan di era digital. AI bukan musuh, tetapi bukan juga penyelamat. Ia adalah alat, dan hanya akan bernilai sejauh kita menggunakannya untuk memperkuat kualitas berpikir dan keterlibatan siswa terhadap materi.
Dan di sinilah EXPLORE Framework menjadi sangat relevan. Framework ini dikembangkan oleh Mohamad Haitan Rachman sebagai pendekatan sistematis untuk menciptakan proses pembelajaran yang eksploratif, reflektif, dan berorientasi pada pertumbuhan mendalam. EXPLORE adalah akronim dari enam tahap: Explore New Ideas, Practice Skills, Learn Deeply, Organize Knowledge, Reflect Often, dan Enrich Understanding.
Dalam konteks krisis copy-paste ini, ada dua tahap dalam EXPLORE yang sangat krusial untuk diaktifkan: Practice Skills dan Reflect Often.
Tahap Practice Skills menekankan pentingnya keterlibatan aktif siswa dalam membangun keterampilan nyata. Di sini, siswa tidak hanya melihat AI sebagai mesin jawaban, tapi sebagai rekan latihan. Misalnya, mereka menggunakan AI untuk mendapatkan struktur awal, lalu mereka mengembangkan, memodifikasi, dan menyempurnakan karya itu melalui dialog antar manusia, diskusi kelas, dan latihan tulis ulang. Dalam tahap ini, AI menjadi semacam pelatih awal, bukan evaluator akhir.
Tahap Reflect Often mengajak siswa dan guru untuk secara rutin mengevaluasi proses: Apa yang berhasil? Apa yang sulit? Bagaimana saya menggunakan AI secara etis? Apa yang saya sadari tentang cara berpikir saya sendiri setelah berdialog dengan mesin ini?
Refleksi ini bisa diwujudkan dalam bentuk jurnal belajar, diskusi kelompok, exit ticket, atau bahkan sesi review mingguan. Refleksi inilah yang membuat teknologi tidak mematikan proses belajar, tetapi justru menghidupkannya.
Kita bisa belajar dari banyak siswa yang telah menggunakan AI secara bijak. Ada siswa yang menjadikan AI sebagai tempat “brainstorming” ide sebelum menulis. Ada pula yang meminta AI bertindak sebagai lawan debat untuk mengasah argumentasi mereka. Beberapa bahkan menggunakan AI untuk belajar mengkritisi sumber—misalnya dengan menyuruh AI menjelaskan satu topik, lalu membandingkan jawabannya dengan buku teks dan artikel jurnal.
Semua itu menunjukkan satu hal penting: teknologi tidak menentukan kualitas belajar. Manusialah yang menentukan.
Tugas kita sebagai pendidik bukan melarang AI, tapi mendidik siswa agar menggunakan AI sebagai pemicu berpikir, bukan pelarian dari berpikir. Kita perlu mengajarkan kepada generasi muda bahwa belajar adalah tentang proses, bukan hasil. Bahwa esai yang ditulis dengan susah payah dan hasil refleksi pribadi jauh lebih berharga daripada jawaban sempurna yang tidak mereka pahami.
Kita juga perlu mengubah budaya pendidikan itu sendiri. Sistem penilaian yang hanya mengukur produk akhir perlu diganti dengan sistem yang menghargai proses. Kurikulum yang terlalu menekankan pada jumlah tugas harus diganti dengan kurikulum yang memberi ruang eksplorasi, diskusi, dan revisi. Guru harus diberi ruang untuk merancang ulang tugas, bukan dibebani dengan administrasi yang kaku.
Dan yang paling penting: kita harus membangun kepercayaan bahwa siswa mampu berpikir. Bahwa mereka tidak butuh jalan pintas, selama mereka diberi tantangan yang masuk akal, pendampingan yang tulus, dan ruang untuk gagal dan mencoba ulang.
Inilah misi besar pendidikan di era AI: mengembalikan kepercayaan pada proses belajar manusia.
Sahabat INOSI, mari kita akui satu hal: AI telah mengubah segalanya. Tapi perubahan ini tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi berkah tersembunyi—wake-up call—yang memaksa kita untuk meninjau ulang semua yang selama ini kita anggap mapan: dari esai hingga asesmen, dari sistem penilaian hingga peran guru, dari definisi belajar hingga makna kecerdasan.
AI menantang kita untuk berpikir lebih dalam: Apa sebenarnya esensi dari belajar itu sendiri?
Dan jawaban saya adalah ini: belajar adalah proses reflektif, aktif, dan bermakna—yang terjadi dalam dialog antara pengetahuan dan pengalaman, antara pertanyaan dan penghayatan. Belajar adalah proses menjadi. Dan itu tidak bisa dicopy-paste.
Jika kita bisa mendesain pembelajaran yang menghargai proses, mendorong eksplorasi, dan membiasakan refleksi, maka AI tidak akan merusak pendidikan. Justru sebaliknya—AI akan memperkuat pembelajaran yang bermakna. EXPLORE Framework memberi kita peta jalan untuk menuju ke sana. Bukan dengan membuang teknologi, tapi dengan memanusiakan kembali proses belajar.
Karena pada akhirnya, teknologi adalah cermin dari cara kita berpikir. Dan jika kita ingin mendidik manusia yang berpikir kritis, etis, dan kreatif, maka kita harus menciptakan sistem belajar yang mencerminkan nilai-nilai itu juga.
Terima kasih telah menyimak episode kali ini. Jika Anda merasa isi percakapan ini penting, mohon bantu kami menyebarkannya lebih luas. Klik like, subscribe podcast INOSI di platform Anda, dan bagikan episode ini kepada siapa pun yang sedang berjuang merancang ulang cara belajar di era AI.
Sampai bertemu lagi di episode berikutnya. Terus belajar, terus refleksi, dan terus bertumbuh bersama.
Ingin versi visual, pelatihan, atau slide presentasi dari skrip ini? Tinggal beri tahu, saya siap bantu sesuaikan dengan kebutuhan.
Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan konten, pelatihan, pendampingan AI DISRUPSI PENDIDIKAN, dan juga kerjasama, silahkan kontak kami di haitan.rachman@inosi.co.id