Home AI Disrupsi Pendidikan Krisis #1: Makna Menghafal di Era AI

Krisis #1: Makna Menghafal di Era AI

*) Gambar sebagai ilustrasi

Halo sahabat INOSI, selamat datang kembali di podcast yang membawa Anda ke percakapan mendalam seputar pendidikan, teknologi, dan masa depan pembelajaran manusia. Di sini, kita tidak hanya bicara soal apa yang sedang terjadi, tapi juga mencoba memahami mengapa itu penting, dan ke mana sebaiknya kita melangkah.

Saya sangat senang Anda bergabung dalam episode hari ini, karena kita akan mengupas salah satu isu paling mendasar—tapi juga paling jarang dibahas secara serius—dalam pendidikan era kecerdasan buatan: Apa sebenarnya makna menghafal dalam dunia yang semua jawabannya bisa dicari dalam hitungan detik?

Tapi sebelum kita mulai, jangan lupa untuk klik subscribe, aktifkan notifikasi, dan jika episode ini terasa relevan, berikan like dan bagikan ke teman guru, dosen, siswa, atau siapa pun yang ingin pendidikan kita tetap bermakna.


Kita mulai dari sebuah pengamatan sederhana tapi menggelisahkan: dulu, menghafal adalah keterampilan utama dalam belajar. Kita diminta menghafal rumus, tanggal sejarah, definisi, nama tokoh, klasifikasi makhluk hidup, bahkan hingga puisi panjang. Nilai ujian kita—dan sering kali nilai diri kita—ditentukan oleh seberapa banyak yang bisa kita simpan di dalam kepala.

Tapi sekarang, semuanya berubah.

Dengan hadirnya kecerdasan buatan seperti ChatGPT, Gemini, Copilot, Claude, dan lainnya, informasi tidak lagi tinggal di kepala, melainkan di ujung jari. Kita tinggal mengetik pertanyaan, dan dalam sekejap, jawaban muncul: terstruktur, cepat, lengkap, bahkan sering kali lebih runtut daripada jawaban kita sendiri.

Lalu kita mulai bertanya: Kalau begitu, masih relevankah menghafal? Apakah siswa masih harus menyimpan informasi di kepala mereka jika semua bisa dicari kapan saja?

Pertanyaan ini bukan hanya soal teknik belajar. Ini adalah pertanyaan filosofis tentang esensi pendidikan itu sendiri. Jika yang kita latih di sekolah hanya kemampuan mengingat, maka AI jelas akan menggantikannya. Tapi jika yang kita bangun adalah kemampuan memahami, menyambungkan, dan menerapkan, maka di situlah manusia tetap unggul.


Mari kita pahami dulu: menghafal bukanlah musuh. Ia tetap penting. Terutama dalam tahap awal pembentukan struktur kognitif. Sama seperti membangun rumah, kita butuh pondasi. Informasi dasar seperti kosa kata, konsep inti, dan kerangka umum adalah bahan baku yang harus tersedia sebelum kita bisa membangun pengetahuan lanjutan.

Namun, masalahnya adalah ketika hafalan dijadikan tujuan akhir. Ketika ujian hanya mengukur seberapa banyak siswa bisa meniru isi buku, dan bukan bagaimana mereka memahami atau mengaplikasikannya. Di sinilah krisis itu muncul. Bukan karena AI membuat hafalan menjadi tidak berguna, tapi karena sistem pendidikan kita belum berani melepaskan ketergantungan pada pengukuran hafalan sebagai indikator kecerdasan.


Lalu, dalam dunia yang serba cerdas ini, apa sebenarnya yang perlu dikembangkan dalam pendidikan?

Setidaknya ada tiga kompetensi utama yang harus menjadi poros baru pembelajaran.

Yang pertama adalah Curated Knowing—kemampuan memilah, menilai, dan mengorganisasi informasi. Di tengah lautan data yang membanjiri internet, siswa harus bisa membedakan mana fakta dan mana opini, mana yang akurat dan mana yang manipulatif. Ini bukan lagi soal mengingat definisi, tapi soal menyaring apa yang layak diingat dan digunakan.

Kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana untuk melatih ini: Mengapa sumber ini layak dipercaya? Apakah datanya mendukung argumen yang disampaikan? Siapa penulisnya dan apa motifnya?

Curated Knowing adalah bentuk kecerdasan informasi yang sangat penting di era post-truth dan banjir konten digital.

Yang kedua adalah Contextual Understanding—kemampuan mengaitkan pengetahuan dengan konteks hidup. Ini adalah kemampuan melihat bagaimana teori bekerja dalam kenyataan, bagaimana konsep ekonomi berinteraksi dengan budaya lokal, bagaimana sains memengaruhi keputusan politik, dan seterusnya.

Siswa tidak lagi cukup mengetahui apa itu “revolusi industri”, misalnya, tapi mereka perlu menjawab: Apa pengaruhnya terhadap struktur ketimpangan sosial hari ini? Inilah jenis pertanyaan yang tidak bisa dijawab hanya dengan hafalan, tetapi melalui koneksi antarkonteks.

Yang ketiga adalah Applied Intelligence—kemampuan menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah nyata. Pendidikan harus mampu membawa siswa dari tataran “tahu” ke “melakukan”. Ini mencakup pemikiran kritis, kolaborasi, pengambilan keputusan, dan kreativitas problem solving.

Applied Intelligence berarti siswa tidak hanya belajar tentang perubahan iklim dari buku, tapi mereka diajak menyusun kampanye lingkungan untuk sekolah mereka. Mereka tidak hanya memahami konsep kewirausahaan, tapi menciptakan produk yang menjawab kebutuhan komunitas.


Ketiga kompetensi inilah—Curated Knowing, Contextual Understanding, dan Applied Intelligence—yang harus menjadi fondasi baru sistem pendidikan kita. Bukan berarti kita buang hafalan, tapi kita tempatkan dia di tempat yang tepat: sebagai fondasi awal, bukan sebagai puncak pembelajaran.

Dan ya, dalam semua ini, AI bisa menjadi rekan belajar yang sangat berharga, jika digunakan dengan bijak.

AI dapat membantu siswa mencari dan mengkurasi informasi. AI bisa diajak berdiskusi untuk melihat berbagai sudut pandang. AI bisa digunakan untuk simulasi pemecahan masalah. Namun, interpretasi akhir, keputusan, dan refleksi tetap berada di tangan manusia. Di situlah letak pendidikan sejati—bukan hanya menguasai jawaban, tetapi mengerti maknanya.


Di titik ini, izinkan saya memperkenalkan sebuah pendekatan yang bisa membantu kita membangun sistem pembelajaran baru di era AI. Sebuah framework yang dikembangkan oleh Mohamad Haitan Rachman, yang namanya semakin dikenal dalam komunitas pendidikan transformasional. Framework ini dikenal dengan nama EXPLORE.

EXPLORE adalah akronim dari Explore New Ideas, Practice Skills, Learn Deeply, Organize Knowledge, Reflect Often, dan Enrich Understanding. Framework ini menawarkan bukan hanya metode, tapi cara berpikir baru tentang bagaimana pembelajaran harus dirancang—khususnya dalam dunia yang tidak lagi mendefinisikan pintar sebagai “banyak tahu”, tapi sebagai “bisa berpikir dan bertindak secara bermakna”.

EXPLORE memberi ruang pada proses berpikir, bukan sekadar hasil hafalan. Ia memberi struktur untuk eksplorasi ide, latihan keterampilan nyata, pemahaman mendalam, dan refleksi sebagai proses utama. Dalam kerangka ini, hafalan tidak dihapus, tapi tidak dijadikan pusat gravitasi. Yang utama adalah pemaknaan.

Bayangkan sebuah kelas di mana siswa diminta mengeksplorasi isu kelangkaan air di daerah mereka. Mereka mencari data, berdiskusi dengan AI untuk memahami akar masalahnya, membuat prototipe solusi, lalu menyusun laporan yang dikontekstualisasi dengan realitas lokal. Inilah pembelajaran masa kini. Inilah cara kita menggeser makna belajar dari hafalan ke penciptaan makna dan aksi nyata.


Sahabat pendengar, ini bukan sekadar perubahan metode. Ini adalah transformasi visi pendidikan. Kita tidak bisa terus mengukur kecerdasan dengan jumlah informasi yang disimpan di kepala. Kita harus mulai mengukur kecerdasan dari sejauh mana siswa bisa bertanya dengan kritis, menghubungkan dengan realitas, dan menciptakan solusi yang manusiawi.

Di dunia di mana AI bisa menjawab semua pertanyaan faktual, kita harus mendidik generasi yang tahu bagaimana bertanya dengan tepat. Karena di sanalah letak kemanusiaan yang tidak bisa digantikan oleh mesin.


Sampai di sini, saya ingin mengajak Anda merenung: Apakah cara belajar kita hari ini masih mencerminkan kebutuhan dunia nyata? Atau kita masih terjebak dalam model pendidikan lama yang mengukur isi kepala, bukan daya pikir?

Jika Anda seorang guru, mari mulai dari satu perubahan kecil: ubah satu tugas hafalan menjadi proyek eksplorasi. Jika Anda seorang siswa, cobalah ajukan pertanyaan yang belum ada di buku teks. Jika Anda seorang pemimpin pendidikan, mari rancang ulang sistem asesmen kita.

Dan jika Anda pendidik yang sedang mencari alat bantu, gunakan AI. Tapi jangan biarkan AI berpikir untuk Anda. Gunakanlah sebagai teman bertanya, bukan sebagai pengganti berpikir.


Sahabat INOSI, demikian episode kali ini. Terima kasih telah mendengarkan sampai akhir. Jika Anda merasa percakapan ini penting untuk didengarkan lebih banyak orang, bantu kami menyebarkannya. Klik like, subscribe podcast ini, dan bagikan kepada komunitas belajar Anda.

Mari terus menjelajahi, terus bertanya, dan terus belajar.

Sampai jumpa di episode selanjutnya. Tetap reflektif, tetap bermakna, dan tetap manusiawi.

Jika kamu ingin versi audio siap rekam, versi visual untuk presentasi kelas, atau modul pelatihan guru dari skrip ini, aku siap bantu!


Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan konten, pelatihan, pendampingan AI DISRUPSI PENDIDIKAN, dan juga kerjasama, silahkan kontak kami di haitan.rachman@inosi.co.id 

Load More Related Articles
Load More By Moh. Haitan Rachman
Load More In AI Disrupsi Pendidikan
Comments are closed.

Check Also

Re-imajinasi Pendidikan di Era AI: Menyambut Tantangan, Merawat Kemanusiaan

*) Gambar sebagai ilustrasi Halo dan selamat datang kembali di Podcast INOSI, ruang dialog…