
*) Gambar sebagai ilustrasi
Halo sahabat INOSI, selamat datang di episode terbaru podcast kami, tempat di mana gagasan-gagasan pendidikan bertemu dengan masa depan. Jika kamu ingin terus mengikuti percakapan bermakna seputar transformasi pembelajaran, inovasi, dan pengembangan manusia, jangan lupa untuk klik tombol subscribe, nyalakan notifikasi, dan jika episode ini berkesan untukmu—berikan like dan bagikan kepada rekan sejawatmu.
Hari ini, kita akan menyelami topik yang sangat penting—dan mendesak—bagi seluruh ekosistem pendidikan: bagaimana kecerdasan buatan (AI) tengah mendisrupsi pendidikan global. Bukan sebagai wacana spekulatif, tetapi sebagai realitas konkret yang terjadi di kelas, ruang guru, bahkan di benak para siswa.
Pendidikan global sedang mengalami gelombang disrupsi paling signifikan dalam sejarahnya—bukan karena perang, pandemi, atau krisis ekonomi, melainkan oleh kehadiran kecerdasan buatan. AI telah muncul sebagai kekuatan struktural baru yang mengubah bukan hanya alat-alat belajar kita, tetapi juga cara berpikir, merancang, dan memaknai proses pendidikan itu sendiri.
Dulu, kita membayangkan AI sebagai bagian dari fiksi ilmiah, bagian dari film futuristik yang berjarak jauh dari kenyataan kelas-kelas kita. Namun kini, teknologi seperti ChatGPT, Gemini, Copilot, dan berbagai platform berbasis AI lainnya bukan hanya hadir—mereka telah berintegrasi. Mereka bukan tamu di ruang kelas, tapi sudah menjadi bagian dari meja belajar siswa, skenario pengajaran guru, bahkan desain kurikulum dan asesmen.
Pertanyaannya bukan lagi “apakah kita siap menghadapi AI?”, tapi lebih dalam: “apakah sistem pendidikan kita mampu bertransformasi bersama AI?”.
Mari kita mulai dari satu fakta sederhana namun revolusioner: dalam hitungan detik, AI dapat menghasilkan esai yang utuh, menyusun ringkasan akademik, memecahkan soal logika, bahkan menyarankan ide penelitian. Ini berarti tugas-tugas yang sebelumnya menjadi pilar aktivitas belajar formal—menulis, merangkum, menjawab soal, mencari informasi—sekarang bisa dilakukan oleh mesin. Cepat. Akurat. Dan tanpa lelah.
Ini bukan hal kecil.
Seluruh asumsi kita tentang belajar—apa yang disebut kerja intelektual, apa yang disebut belajar aktif, apa yang disebut pemahaman—harus dikaji ulang. Kita tidak bisa lagi sekadar bertumpu pada tradisi, pada kebiasaan, pada format tugas yang tidak mempertimbangkan realitas baru ini.
Dan inilah yang menyebabkan apa yang saya sebut sebagai tiga krisis utama pendidikan di era AI.
Pertama, adalah krisis makna menghafal. Di era AI, ketika semua informasi ada di ujung jari, ketika definisi, rumus, atau kronologi sejarah bisa diakses dalam hitungan detik, kita harus bertanya: masihkah hafalan menjadi inti pembelajaran?
Tentu, menghafal tidak sepenuhnya salah. Ada gunanya untuk penguatan memori dasar. Tapi yang jadi soal adalah proporsi dan tujuan. Di mana letak pemahaman dalam proses itu? Di mana kontekstualisasi dan aplikasi nyata?
Sekarang, yang lebih penting adalah kemampuan memilah informasi, membaca situasi, dan menyusun sintesis dari berbagai sumber. Belajar bukan lagi soal menyimpan pengetahuan, tetapi mengolah pengetahuan menjadi pemahaman yang bermakna. Ini adalah pergeseran besar dari knowing menjadi sense-making.
Krisis kedua adalah krisis otentisitas pembelajaran. Kalau siswa bisa meminta AI menuliskan esai tentang dampak revolusi industri atau menjelaskan konsep ekosistem, lalu apakah mereka masih belajar?
Ini adalah pertanyaan yang menakutkan sekaligus menantang.
Jawabannya tidak sederhana, karena sangat tergantung pada bagaimana kita merancang proses belajar. Jika tugas-tugas hanya berupa esai satu arah tanpa dialog, refleksi, atau revisi, maka benar—AI akan menggantikan proses itu. Tapi jika kita mengubah cara, mendesain ulang tugas agar berbasis eksplorasi, diskusi, eksperimen, dan refleksi, maka AI justru bisa menjadi pemicunya, bukan penggantinya.
Bayangkan jika siswa diminta membandingkan dua respons AI, menuliskan ulang jawabannya dengan narasi pribadi, lalu mendiskusikan mengapa mereka setuju atau tidak setuju. Di situ, AI bukan alat copy-paste, tapi co-learner, bahkan sparring partner kognitif.
Kita tidak kehilangan esensinya—kita hanya menggeser titik berat dari output ke proses.
Krisis ketiga, dan mungkin yang paling eksistensial, adalah krisis peran guru. Jika AI bisa menjelaskan dengan cepat, sabar, dan lengkap, lalu untuk apa guru?
Pertanyaan ini sangat mendalam. Dan jawabannya tidak akan kita temukan jika kita tetap memandang guru hanya sebagai penyampai informasi. Justru di sinilah kita perlu memulihkan peran guru sebagai pemantik, fasilitator, mentor berpikir, dan pembimbing karakter.
Guru adalah manusia yang membentuk manusia. Guru mengajarkan rasa ingin tahu, etika intelektual, empati, keberanian bertanya, dan ketekunan berpikir. AI tidak punya nilai, tidak punya intuisi, tidak punya rasa. Semua hal itu hanya bisa dibentuk oleh manusia—oleh guru sejati.
Jadi, pertanyaannya bukan “apakah AI akan menggantikan guru?”, tetapi “bagaimana guru akan bertransformasi dan menegaskan kembali esensinya di era baru ini?”
Disrupsi ini sesungguhnya membuka ruang yang luas bagi pendidikan untuk reboot. Kita bisa membayangkan ulang tujuan belajar, metode mengajar, cara menilai, bahkan arsitektur kurikulum itu sendiri.
Bayangkan sebuah ruang kelas di mana siswa menggunakan AI untuk membangun prototipe ide, berdiskusi tentang kelebihan dan bias algoritma, merefleksikan interaksi mereka dengan mesin, lalu menyusun simpulan kritis berbasis pengalaman personal. Ini bukan fiksi—ini bisa kita wujudkan jika paradigma kita bergeser.
Dan di sinilah masuknya EXPLORE Framework sebagai kerangka pembelajaran yang sangat relevan.
EXPLORE terdiri dari enam tahap pembelajaran: Explore New Ideas, Practice Skills, Learn Deeply, Organize Knowledge, Reflect Often, dan Enrich Understanding. Setiap tahap mendorong siswa dan guru untuk berpikir terbuka, bertindak aktif, mengaitkan ide, menyusun makna, mengevaluasi diri, dan memperluas perspektif.
Framework ini bukan saja kompatibel dengan AI—tetapi justru mengarahkan kita bagaimana menggunakan AI secara bermakna, mendalam, dan manusiawi.
Misalnya dalam tahap Explore New Ideas, siswa bisa menggunakan AI untuk menjelajahi topik baru yang belum dikenalnya. Tapi tidak berhenti di situ. Di tahap Practice Skills, mereka melatih diri melalui tantangan nyata, bukan hanya simulasi. Di tahap Learn Deeply, mereka menghubungkan konsep lintas disiplin, membedah implikasi etis dan sosialnya. Lalu mereka mengatur hasil belajarnya dalam sistem catatan digital, merefleksikan proses, dan mengaitkan wawasan itu dengan kehidupan sehari-hari.
Ini adalah proses belajar utuh. Dan AI menjadi alat bantu, bukan pengganti.
Kita hidup di zaman ketika pertanyaan lebih penting dari jawaban. Karena jawaban bisa dicari dengan cepat, tetapi pertanyaan yang baik hanya muncul dari pikiran yang tajam dan hati yang peka. Maka pendidikan kita harus bertransformasi menjadi medan untuk bertanya, bukan hanya menjawab.
Misi kita bukan menyiapkan siswa untuk menghadapi ujian, tetapi untuk menghadapi kehidupan. Dan kehidupan itu kini penuh dengan mesin-mesin cerdas yang tidak lelah dan tidak salah. Maka manusia harus lebih dari sekadar cerdas—manusia harus bermakna.
Sahabat INOSI, mari kita akhiri episode ini dengan sebuah renungan: jika kita terus berpegang pada model pendidikan lama dalam dunia yang telah berubah, maka kita sedang menyiapkan generasi untuk dunia yang tidak akan ada.
Sebaliknya, jika kita berani membuka ruang eksplorasi, memanfaatkan AI secara bijak, dan memperkuat nilai-nilai manusiawi dalam pendidikan, maka kita sedang menciptakan masa depan yang tidak hanya canggih, tetapi juga beradab.
Jika kamu merasa episode ini menggugah, bantu kami menyebarkan narasi baru ini. Klik like, bagikan ke rekan guru, dosen, orang tua, atau siapa pun yang peduli pada masa depan pendidikan. Dan tentu saja, subscribe agar tidak ketinggalan episode-episode inspiratif lainnya.
Sampai jumpa di episode berikutnya bersama INOSI. Teruslah belajar, teruslah bertanya, dan teruslah bertumbuh.
Jika kamu ingin versi ini dalam format audio siap rekam, atau ingin saya bantu buatkan versi presentasi atau pelatihan, tinggal beri tahu saja!
Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan konten, pelatihan, pendampingan AI DISRUPSI PENDIDIKAN, dan juga kerjasama, silahkan kontak kami di haitan.rachman@inosi.co.id