Home AI Disrupsi Pendidikan AI sebagai Co-Thinker dalam Pendidikan dan Peran EXPLORE Framework

AI sebagai Co-Thinker dalam Pendidikan dan Peran EXPLORE Framework

*) Gambar sebagai ilustrasi

Halo pendengar setia INOSI, selamat datang kembali di podcast yang mengulas ide-ide segar, transformasi pendidikan, dan pengembangan manusia yang bermakna. Seperti biasa, saya menemani Anda untuk menyelami berbagai topik penting yang tak hanya relevan, tapi juga mendesak untuk kita pikirkan bersama. Sebelum kita mulai, jangan lupa untuk klik tombol subscribe, beri bintang lima jika kamu mendengarkan di Spotify, dan bagikan episode ini ke teman guru, dosen, fasilitator, atau siapa pun yang peduli terhadap masa depan belajar.

Hari ini, kita akan membahas satu gagasan kunci yang sedang membentuk ulang wajah pendidikan global—yakni peran kecerdasan buatan sebagai co-thinker, atau rekan berpikir dalam proses belajar.


Beberapa tahun lalu, ketika kita mendengar kata “AI”, mungkin yang terbayang adalah robot logam dingin dalam film fiksi ilmiah. Kini, persepsi itu sudah sangat bergeser. AI tidak lagi hanya hadir sebagai mesin yang memproses data atau alat bantu yang bersifat mekanis. AI telah berkembang menjadi sistem yang bisa merespons, berdialog, dan bahkan merangsang pemikiran. Dalam dunia pendidikan, ini bukan sekadar perubahan alat—ini adalah pergeseran peran.

Teknologi seperti ChatGPT, Gemini, Claude, dan Copilot tidak lagi sekadar mesin penjawab. Mereka telah berevolusi menjadi co-thinker—rekan dialog kognitif yang mampu diajak bertukar pikiran, memperluas perspektif, bahkan menantang asumsi awal pembelajar. Jika dulu siswa bertanya, “Apa itu revolusi industri?”, dan mereka mendapat jawaban satu paragraf dari buku atau situs web, kini mereka bisa bertanya ulang: “Apa dampaknya terhadap ketimpangan sosial di era modern?” dan AI akan memberikan respon yang lebih kontekstual, bahkan multidimensi.

Di sinilah kita melihat perbedaan mendasar antara AI hari ini dengan ensiklopedia digital masa lalu. Bukan hanya menyajikan informasi, tapi menanggapi proses berpikir. AI menjadi respon-sensitif, artinya ia mampu merespons pertanyaan dengan nuansa. Ia juga kontekstual, artinya ia bisa menyesuaikan jawaban tergantung pada gaya bertanya, topik diskusi, bahkan cara berpikir penggunanya.


Lalu, apa artinya ini bagi dunia pendidikan?

Jawabannya sederhana tapi berdampak dalam: AI bukan hanya alat bantu, ia adalah pasangan berpikir. Dan seperti halnya pasangan berpikir manusia, kehadirannya bisa memperkuat proses belajar, atau justru mengaburkannya—tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Mari kita telaah lebih dalam.

Dengan kemampuan interaktif dan adaptif, AI membuka peluang luar biasa dalam proses pembelajaran. Yang pertama adalah personalisasi pembelajaran. Dulu, guru harus mengajar satu kelas dengan 30 atau bahkan 50 siswa yang semuanya memiliki gaya belajar berbeda. AI mengubah itu. Sekarang, siswa bisa mendapatkan penjelasan yang sesuai dengan kebutuhannya: dengan analogi, dengan diagram, atau dengan ringkasan satu paragraf. Bahkan bisa meminta penjelasan ulang, tanpa takut dihakimi.

Peluang kedua adalah umpan balik instan. Bayangkan seorang siswa menulis esai. Alih-alih menunggu beberapa hari untuk mendapatkan koreksi dari guru, mereka bisa langsung mendapat masukan dari AI tentang struktur kalimat, kejelasan argumen, hingga kesesuaian data. Hal ini bukan menggantikan guru, tapi mempercepat dan memperluas proses revisi yang sebelumnya terhambat waktu dan tenaga.

Ketiga, AI menyederhanakan konsep-konsep abstrak yang dulu membuat siswa frustrasi. Topik seperti ekonomi makro, genetika, atau filsafat moral kini bisa dijelaskan dengan narasi yang dibangun dari gaya bahasa siswa itu sendiri. Lebih dari itu, AI juga mampu menyediakan sumber belajar lintas disiplin. Seorang siswa yang belajar tentang perubahan iklim bisa sekaligus mengakses perspektif ekonomi, sosial, dan politik dari satu ruang dialog dengan AI.

Namun—dan ini penting—bersamaan dengan hadirnya peluang besar ini, muncul pula tiga krisis mendasar dalam pendidikan, yang tidak bisa diatasi hanya dengan “menggunakan teknologi”. Krisis ini menuntut kita untuk merancang ulang pengalaman belajar secara mendalam dan manusiawi.


Krisis pertama adalah krisis makna belajar itu sendiri.

Jika siswa bisa dengan mudah meminta AI menyelesaikan tugas, lalu mengumpulkan tanpa proses, maka apakah itu masih disebut belajar? Jawabannya bergantung pada cara kita merancang proses belajar. Jika pembelajaran hanya berupa tugas hafalan dan esai satu arah, maka ya—AI akan menggantikan itu semua. Tapi jika pembelajaran dirancang sebagai proses eksplorasi, refleksi, dan rekonstruksi pemahaman, maka AI justru akan memperkuat pengalaman itu.

Krisis kedua adalah krisis otentisitas kognitif. Dalam sistem belajar konvensional, keaslian karya siswa menjadi indikator penting. Tapi bagaimana kita menilai keaslian ketika sebagian prosesnya difasilitasi AI? Kita perlu berpindah dari menilai produk akhir, ke menilai proses berpikir. Guru perlu meninjau bagaimana siswa menggunakan AI: apakah mereka bertanya ulang? Apakah mereka menyusun ulang jawaban menjadi versi personal? Apakah mereka bisa menjelaskan kembali hasilnya?

Krisis ketiga—yang sering tak disadari—adalah krisis peran guru. Ketika AI bisa menjelaskan dengan sabar dan lengkap, lalu di mana tempat guru dalam ekosistem belajar? Jawabannya tidak dalam persaingan, tapi dalam redefinisi. Guru bukan lagi penyampai informasi, tetapi arsitek pengalaman belajar. Guru menjadi fasilitator eksplorasi, mentor berpikir, dan pelatih refleksi. Peran ini tidak bisa digantikan oleh AI—karena hanya manusia yang bisa membimbing manusia melalui ketidaktahuan yang bernilai.


Lantas, bagaimana cara kita merancang ulang pendidikan agar AI menjadi co-thinker yang bermakna, bukan sekadar mesin bantu?

Di sinilah EXPLORE Framework hadir sebagai jawaban. Framework ini dikembangkan oleh Mohamad Haitan Rachman sebagai pendekatan sistematis untuk membangun pembelajaran yang mendalam, reflektif, dan berkelanjutan—dengan atau tanpa teknologi.

EXPLORE adalah akronim dari enam langkah belajar: Explore New Ideas, Practice Skills, Learn Deeply, Organize Knowledge, Reflect Often, dan Enrich Understanding. Mari kita bayangkan bagaimana AI dapat diintegrasikan secara bermakna dalam setiap langkah ini.

Pada tahap pertama, Explore New Ideas, AI bisa digunakan untuk memetakan topik-topik baru, mengakses perspektif global, atau bahkan membantu siswa menyusun pertanyaan eksploratif yang mendalam.

Lalu pada tahap Practice Skills, siswa bisa mengasah keterampilan seperti menulis, berpikir kritis, atau menyusun argumen dengan bantuan AI sebagai pelatih digital. AI memberikan feedback awal yang bisa dimanfaatkan siswa sebelum mereka berdiskusi atau berkonsultasi dengan guru.

Di tahap Learn Deeply, AI membantu mengaitkan konsep lintas disiplin, memberi ilustrasi, dan menyuguhkan konteks. Namun tetap, pemaknaan dan refleksi tetap harus dibimbing oleh guru atau rekan sejawat.

Tahap Organize Knowledge mengajak siswa untuk menyusun catatan, diagram konsep, atau portofolio digital. AI bisa berperan sebagai asisten penyusun—tapi struktur dan logikanya tetap menjadi tanggung jawab pembelajar.

Pada langkah Reflect Often, siswa didorong untuk mengevaluasi proses dan kesulitan mereka. AI bisa menanyakan kembali: “Apa hal tersulit yang kamu pelajari minggu ini?” atau “Bagaimana kamu melihat perubahan cara berpikirmu tentang topik ini?”

Dan akhirnya, di tahap Enrich Understanding, siswa didorong untuk memperluas wawasan melalui proyek lintas disiplin, kolaborasi, atau observasi nyata. AI di sini bisa membantu dengan saran sumber bacaan, koneksi antar konsep, hingga jejaring global yang relevan.


Teman-teman pendengar, inilah saatnya kita berhenti bertanya “Bagaimana cara menghindari AI?” dan mulai bertanya “Bagaimana AI bisa memperkaya proses belajar kita?”.

Masa depan pendidikan tidak ditentukan oleh apakah kita menggunakan teknologi atau tidak, tetapi oleh bagaimana kita menggunakannya dengan bijak dan manusiawi. Jika AI adalah partner berpikir yang baru, maka tugas kita adalah memastikan bahwa setiap siswa tahu cara bertanya yang baik, tahu cara menyaring informasi, dan tahu bagaimana membentuk pemahaman yang otentik dari dialognya dengan mesin.

Dengan EXPLORE Framework, kita tidak hanya punya alat bantu desain pembelajaran, tapi juga filosofi belajar yang menempatkan manusia—dengan rasa ingin tahunya, refleksinya, dan kebijaksanaannya—di pusat setiap proses belajar.


Sahabat INOSI, sampai di sini dulu episode kita kali ini. Jika Anda merasa topik ini penting untuk disebarkan, bantu kami dengan cara sederhana: klik like, beri rating podcast ini, dan bagikan kepada komunitas Anda. Jangan lupa juga untuk subscribe agar tidak ketinggalan episode-episode reflektif dan inspiratif lainnya.

Saya pamit dulu, dan ingat: teknologi bisa memberi jawaban, tapi hanya manusia yang bisa memaknainya. Sampai jumpa di episode selanjutnya. Tetap belajar, tetap bertanya, dan tetap bertumbuh.

Jika kamu ingin versi audio siap rekam atau ingin kolaborasi produksi episode ini dalam format visual, pelatihan guru, atau konten sosial media berbasis potongan skrip, tinggal beri tahu ya!


Jika mempunyai pertanyaan berkaitan dengan konten, pelatihan, pendampingan AI DISRUPSI PENDIDIKAN, dan juga kerjasama, silahkan kontak kami di haitan.rachman@inosi.co.id 

Load More Related Articles
Load More By Moh. Haitan Rachman
Load More In AI Disrupsi Pendidikan
Comments are closed.

Check Also

Re-imajinasi Pendidikan di Era AI: Menyambut Tantangan, Merawat Kemanusiaan

*) Gambar sebagai ilustrasi Halo dan selamat datang kembali di Podcast INOSI, ruang dialog…